Rabu, 27 Juli 2011

Ratapan kemunafikan

RATAPAN KEMUNAFIKAN.

Kosong menembus asap sampah yang terbakar di tengah lapangan. matanya Sesekali ia rasakan semilir angin yang melewati kulit belakang telinganya.
Di siang menjelang ashar, termenung lelaki bodoh di pojok serambi ruang kelas kampus. Beralaskan sepasang sandal jepit yang ditinggalkan temannya. Tatapan matanya pada serambi kelas yang berbaris, yang ia temukan hanya sebuah madding tua yang tak karuan berkaca sebagian pecah. Tak lama kemudian terlihat dua anak kecil berlarian melewati gang mushola.
“duh! Gatal banget sih” menggaruk lutut yang gatal tanpa sebab.
Ia kembali meratapi nasibnya yang tak selalu berpihak padanya. Seiring waktu berlalu, ia merasa dari dulu hanya menjadi babu teman-temannya yang tak tau malu, terperas, tertindas dan tersingkir.
“ aduh!” seketika itu ia merasakan bokongnya yang pegal oleh beban berat badannya yang tak begitu berat, sambil merubah posisi duduknya.
“ lalat kurang ajar “ gerutunya pada lalat yang mengeroyok jempol kakinya yang terluka.
Di dasar hatinya yang tak terlalu dasar, berjuta-juta perasaan benci dan dengki menjamur subur tersiram perasaan kemunafikan dan pancaran senyum kepalsuan. Ia ingat persis kejadian yang di alaminya beberapa hari lalu………

-------------(…………………..)---------------

Segelas kopi, setengah bungkus rokok kretek, berteman alunan suara senar gitar yang dimainkan Githo, membuatnya tersenyum sedikit oleh keheranan rasa senang. Tak lama kemudian datanglah dua anak cewek yang berbadan gemuk dan kurus, Ani dan Ina.
“ githo “ panggilan Ani riang
“ sedang apa “ tambah katanya
“ enggak! Iseng aja cari angin “ jawab githo sekenanya
“ kakak….! “ ucapnya Ani manja.
“ ada apa “ tanyanya penuh kemalasan dan kesenangan.
“ ajari aku drama donk……! “pinta Ani.
“ drama apa? Aku enggak paham drama! “ jawabnya merendah benar.
“ masak ngak paham?! Kan kakak dah ngajar….! “ rayu Ani memuji.
“ iya..! tapi asal-asalan! “ jawabnya ngawur.
“ udah kak sebisa kakak aja! “ rengeknya lagi.

------------(…………………..)----------------

terputus lamunnya oleh panggilan Ani dan Ina yang melintas didepannya jauh.
“ kakak…..! lama nggak ketemu, tau-tau disini! “ ejek ani bercanda
“ lagi ngapain? “ Tanya ani iseng.
“ berak “ jawabnya sekenanya.
“ apa? “ tanyanya lagi.
“ berak “ jawabnya mengulang dengan malas.
“ jam berapa kak? “ Tanya ina.
Nggak tau, jam setangah empatan! “ balasnya penuh keyakinan.
Setengah menit kemudian,
Ina menyapa “ ayo kak!”
Ia jawab “ ya! Hati-hati! “

-------------(………….)----------------

tatapan kosong kembali melesat pada sebuah pohon jati yang daunnya tinggal atasnya. Terdengar merdu dan jelas suara adzan dari masjid sekitar kampus, tergores ia oleh perasaan sedih atas kekurangan yang ada pada dirinya. Tak lama iqomah tanda jamaah akan dimulai. Kembali angina mengusikhatinya yang seakan mati, ia kembali meneruskan ratapan nasibnya yang lalu……..

“ sebenarnya gampang belajar drama itu “ sahut githopenuh percaya diri.
“ gimana caranya? “ Tanya Ani penasaran.
“ cukup kamu belajar memahami karakter diri sendiri dan orang lain “ jawab githo penuh keyakinan.
“ maksudnya? “ tanya ani dan ina tambah penasaran.
“ dalam bermain drama, seorang pemain atau actor, harus tahu dan paham dengan karakter orang yang diperankannya. Missal, menjadi orang yang mempunyai karakter pemarah, keras, jadi harus benar-benar menjiwai karakter itu bagaimana sikapnya, tingkahnya, cara bicaranya dan lainnya. “ sambungnya.
“ atau kamu belajar memahami alam “ sahut ghito.
“ apa maksudnya? “tambah bingung ani dan ina
“ kamu coba lihat air, kemanapun ia berada, air selalu menikuti atau menyesuaikan diri. Misalnya, air dituangkan dalam gelas, secara otomatis iar membentuk gelas………………………. (Githo)

ah…….! Kacau pikirannya, oleh suara-suara berisik siswa yang keluar dari sekolah di sebelah kirinya tak jauh dan oleh suara berisik bola yang dinyanyikan kaki kecil yang tak karuan dari sebelah kanannya di serambi kelas menuju padanya.
“ brengsek! “ gerutu hatinya.

Ia tinggalkan tempat itu dengan penuh kemalasan dan keemosian, juga kebosanan. Yang terlintas hanya kebencian pada githo yang mata keranjang dan pintar merayu cewek.
Terus ia langkahkan kakinya hingga menyentuh lantai ruang kegiatan mahasiswa yang menjadi tempat tinggal sementaranya. Ia disambut temannya yang merengek karena badannya yang gemuk merasa kesakitan.

“ adu……h! sakit banget badanku! “ toni merengek.
“ kenapa sich? Dah minum obat belum? “ tanyanya iseng. Dan males.
“ udah! Tapi tetep aja masih sakit! Adu…..h! “ terus merengek.
“ sabar aja, bentar lagi juga sembuh! “ jawabnya tak pedulikan toni.
“ udah dari pagi tadi, tak kirain kebelet beol, tak beolin gak keluar, malah sakit peruku badan juga! Aduhhh! “
“ Udah sabar aja! “ Berusaha menenangkannya .

------------(………….)-----------

Ringkas Cerita

Gito adalah anak kampus yang aktif di kampus, bahkan tidurpun di kampus. Dia mempunyai banyak teman, baik dari teman se-jurusan atau lain jurusan, anak-anak kampong sekitar kampus, bahkan preman pun ia jadikan teman. Gito mempunyai sikap cuek tapi enak perndiam tapi diajak ngobrol, dermawan, suka kebersihan dan bersih-bersih, walau teman-temannya selalu mengecewakannya, tapi dia tetap bersabar dan bersabar. Berkat sikapnya itulah dia mempunyai banyak teman, bahkan anak sekolah di sekitar kampusnya pun ada yang menjadi temannya.
Di suatu ketika Gito merasa tak tahan dengan kebiasaan teman-temannya itu, tapi dia hanya diam dan menerimanya dan biasanya kekecewaan itu dia luapkan dengan berdiam diri dan menyepi. Tak jarang ia menulis puisi, membaca atau apa saja yang ingin dia lakukan. Saat itu dia kecewa dan merasa iri dengan salah satu temannya yang lebih disenengi cewek-cewek, lebih banyak cewek yang akrab dan mendekatinya, sedangkan dia yang selalu merasa sendiri, jelek rupa, diperbudak (tidak dihormati hasil kerjanya) dan seabrek kekecewaan yang hampir tak dapat dihitung.
Namun apa mau dikata, naisb berkehendak lain, semua kekecewaan dan rasa irinya hanya kosong tak ada artinya, semua hanya jeritan hatinya yang tak bersuara. Hari-harinya selalu begitu, dari kecil hingga dewasa bahkan sampai saat dibangku kuliah. Kisah cinta tak punya, kisah suka tak pernah ada puncaknya, hanya dasar.
Gito selalu tersenyum dalam kecemberutan, selalu tertawa dalam tangisan, selalu mengalah dalam pemberontakan, selalu bersabar dalam keterpaksaan, selalu dermawan walau kadang terpaksa, selalu bersahabat dalam kebencian, selalu akrab dengan kemunafikan dan kepalsuan.
Pasa suatu saat, dia merenungkan apa yang selama ini dia rasa, dia lakukan, dan simpan dalam hatinya. Dalam kebimbangan dan rasa bersalahnya, dia berusaha mencari jalah hidup yang lebih baik dan lebih baik. Dia tahu senyum pada teman-temannya adalah kepalsuan, sabar dia adalah kepengecutan dan tak berani berbicara, dermawannya terkadang hanya keterpaksaan, sikap dan lakunya adalah kemunafikan belaka.

0 Coment:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More